Par Selatan

Par SelatanPar Selatan

Tapanuli Selatan, biasa disingkat Tapsel pada awal sejarahnya adalah nama satu kabupaten di Sumatra Utara.
Seiring dengan perkembangan zaman, asas desentralisasi diembuskan oleh pemerintah Indonesia sehingga dimekarkanlah wilayahnya menjadi 5 kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukotanya Sipirok), Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas (disingkat Palas, ibukotanya Sibuhuan), Kabupaten Padang Lawas Utara (disingkat Paluta, ibukotanya Gunung Tua), dan Kota Padangsidimpuan (dulunya menjadi ibukota Tapanuli Selatan).
Subsuku Batak Angkola-Mandailing yang mayoritas mendiami Tapanuli Selatan mengidentifikasi diri mereka par Selatan (orang Selatan) sehingga orang Batak Angkola-Mandailing identik dengan par Selatan.
Atau supaya lebih spesifik lagi, kadang-kadang menyebut diri mereka sebagai par Sidimpuan (orang yang berasal dari Sidimpuan).
Kota Sidimpuan disebut untuk memudahkan pengenalan karena Sidimpuan adalah ibukota Tapanuli Selatan sekian lama.

Tapsel tak pernah berhenti menghasilkan par Selatan, orang-orang hebat di negeri ini.
Sebut saja misalnya negarawan Indonesia mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, Amir Sjarifuddin Harahap, Wakil Presiden RI ke-3: Adam Malik Batubara, dan Jendral Besar Abdul Haris Nasution.


Hariman Siregar, Tokoh Malari

HarimanTokoh Malari, Hariman Siregar

Dikutip dari sumber: http://www.margasiregar.com
Oleh: Pardamean Sir <pardamean@margasiregar,com>

Kasus 15 Januari 1974, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana kota Jakarta masih mencekam.

Hariman Siregar menjadi tokoh sentral di balik peristiwa itu.
Lahir di Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, ia anak keempat dari tujuh bersaudara. Putra Kalisati Siregar, pensiunan pegawai Departemen Perdagangan. lbunya boru Hutagalung.
Sejak SD, Hariman di Jakarta. Tahun 1973 ia terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, di saat aksi berbagai kampus terasa meningkat. “Gerakan mahasiswa yang dilancarkan sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengkritik strategi pembangunan yang dinilai sudah menyimpang dari cita-cita Orde Baru,” ujar Hariman beberapa tahun kemudian.

Tanpa sebab musabab yang jelas, “gerakan” itu meledak dalam aksi pembakaran dan perusakan barang-barang buatan Jepang kemudian juga toko dan bangunan lain. Hariman sendiri (bersama antara lain Adnan Buyung Nasution, Princen, Fahmi Idris, Sjahrir, Imam Waluyo, Rachman Tolleng, Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjoro Jakti) ditahan. Menyelesaikan kuliahnya di FK UI (1977), Hariman tidak sampai penuh menjalani vonis hukuman 6 tahun yang dijatuhkan atas dirinya. Namun Sriyanti, putri Prof. Sarbini Sumawinata yang dikawininya November 1972, mengalami goncangan. Wanita itu telah melahirkan seorang anak lelaki bagi Hariman. Bayinya yang kedua meninggal lahir ketika Hariman ditahan.

Meskipun kini sudah mengasingkan diri dari ingar bingar dunia politik dan sibuk mengelola klinik medisnya, Baruna, gaya Hariman Siregar masih tetap seperti dulu. Bahasanya meledak-ledak dan bersemangat.
Tokoh demonstran yang ikut membuat geger dunia politik nasional dengan peristiwa yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Malari(Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 ini mengaku masih sering berkomunikasi dengan teman-teman seangkatannya. “Kalau ada aktivitas eks Malari, saya selalu ikut,” katanya.


Bung Lubis, Sang Penghibur

Sang Penghibur

Oleh: Kevin S

Mengenang kota salak artinya sama dengan mengingat kembali kegembiraan di dalam hidup saya. Kegembiraan masa muda di medio 90—an. Kegembiraan yang telah menjadi spirit untuk meraih kesuksesan hidup. Menempuh pendidikan menengah SMA di Jalan Merdeka Padangsidimpuan menjadi suatu kebanggaan luar biasa bagi parhuta—huta seperti saya.
Marulang, aktivitas rutin pahae pahulu (hilir mudik) yang saya lakukan setiap hari sekolah. Berangkat pagi—pagi dari pinggiran kota Sidimpuan, naik angkot BON hingga sampai ke Pasar Baru, sentral keramaian di kota Padangsidimpuan. Setelah jam sekolah usai, kembali lagi melewati Pasar Baru untuk pulang ke rumah.

Pasar Baru (orang Sidimpuan lebih sering menyebut Pasar saja) menjadi pusat perdagangan di Kota Padangsidimpuan.Orang-orang dari Batangtoru, Sipirok, Padang Bolak, Mandailing, Sibuhuan, dan sekitarnya membeli kebutuhan sehari-hari di kota ini yang memang sejak zaman Belanda sudah menjadi pusat perdagangan. Di Pasar juga terdapat pusat hiburan bioskop. Ada 3 bioskop, yakni Rajawali, Horas, dan President. Masing-masing memiliki segmen penonton khusus. Kalau mau nonton film berbau-bau esek-esek sudah tertentu tempatnya. Bioskop yang dikenal “bersih” pun orang Sidimpuan pasti tahu.

Pedagang obat keliling juga sangat mudah dijumpai di Pasar. Salah seorang di antaranya ialah Bung Lubis. Namun, menariknya Bung Lubis ini bukan sembarang “tukang obat” biasa. Beliau seorang seniman sejati. Sang Penghibur. Dengan lengkingan gitar a la Rhoma Irama, dia berhasil merebut perhatian orang ramai yang lalu lalang di Pasar.
Dan Anda mau tahu apa yang dijual oleh Bung Lubis: obat cacing :))
Tablet obat cacing merk ternama dijual ketengan.Saya kurang tahu apakah Bung Lubis juga menjadi marketer obat ini.

Saya pribadi bukanlah peminat genre musik dangdut yang dibawakan oleh Bung Lubis. Meskipun saya parhuta-huta, saya suka musik rock. Koleksi kaset Slank yang saya beli di Sidimpuan saat itu, masih terawat baik sampai sekarang. Mulai dari album perdana mereka: Suit..Suit..He..he..he. Album GNR: Use Your Illusion dan Appetite for Destuction pun saya beli di Sidimpuan karena saya suka dengan permainan gitar rock Slash.
Namun, live performance Bung Lubis di tengah Pasar menjadi konser gratis kala itu. Hiburan musik ketika itu tidaklah bisa dibandingkan dengan masa industri musik hingar-bingar seperti saat sekarang ini. Saat itu, acara musik televisi seperti RCTI masih berbayar (menggunakan decoder). Saya pun biasanya numpang nonton RCTI di rumah kawan saya yang kaya di Sidimpuan.
“Satria bergitar” Bung Lubis dengan sound system yang jauh dari sistem audio sempurna ternyata benar-benar menghibur di tengah minimnya sarana hiburan pada masa itu.

Satu hal yang saya suka dari seorang Bung Lubis adalah lirik lagunya.Terutama pada lagu “Parhuta-huta“. Meskipun barangkali kurang relevan dengan nuansa lagunya, lagu ini bagi saya jadi semacam reminder setiap kali saya “lupa pulang kampung”. Lagu ini pun akhirnya saya tetapkan menjadi ringtone handphone saya. Sampai sekarang.
Merantau ke kota kembang untuk meneruskan pendidikan tinggi teknik menyebabkan saya harus “putus hubungan” dengan Sidimpuan selama beberapa tahun. Namun, lagu ini kadang-kadang mampu me-refresh jiwa saya dan membuat saya tersenyum-senyum sendiri.
Ketika harus menjadi expat di negeri orang, lagu ini pun menjadi senandung rindu yang mengingatkan untuk selalu pulang kampung.
Ah…jadi terbayang-bayang sedapnya masakan bulung gadung (daun ubi tumbuk) dan sambal tuk-tuk.:))
Parhuta-huta do au…!

Arrayo on mulak ma jolo hita tu huta
Manjalang tu inanta an
Ah, inda di au tu si
Inda lobas au mardalan pat
Na lobas au mengite
Anggo au …mayup…mayup…
Na baruon dompak so lalu tai
Marsiayup pe ra do ho
Tu inanta pe:
O …bou, bou, na bou ma…